EPILEPSI BUKAN PENYAKIT KUTUKAN DAN PENYAKIT MENULAR

Oleh: dr.fajriman,SpS,MSi.Med

KSM Neurologi/Ilmu Penyakit Saraf RSUD Pidie Jaya

 

Epilepsi adalah suatu gangguan susunan saraf pusat yang dicirikan terjadinya suatu bangkitan secara tiba-tiba singkat dan berirama yang disebabkan oleh gangguan fungsi otak, dimana sel-sel otak tidak bekerja secara sempurna dengan manifestasi hilangnya kesadaran sejenak, bingung, kejang, inkotinensia, buang air kecil yang tidak disadari, gangguan persepsi, suara yang aneh, halusinasi penciuman, perasaan takut yang tidak dapat dijelaskan. Istilah epilepsi tidak boleh digunakan pada serangan yang hanya satu kali saja atau yang terjadi selama penyakit akut berlangsung seperti pada demam tinggi, pada kondisi kekurangan dan kelebihan gula darah, kekurangan cairan tubuh, obat-obatan tertentu.

Di Indonesia epilepsi sudah lama dikenal oleh masyarakat dengan berbagai sebutan di antaranya ”ayan”, ”sawan”, dalam bahasa aceh ”di samon”, ”penyakit ramanyang”, keserupan dalam bahasa Indonesia. Masyarakat masih banyak menganggap penyakit ini merupakan kekuatan gaib atau penyakit kutukan, sehingga banyak diantara penderita epilepsi tidak mendapatkan perhatian selayaknya dan sering terlambat dibawa berobat ke dokter. Semakin lama penderita epilepsi tidak mendapatkan perhatian dan pengobatan semakin memperburuk kondisi penderita seperti terjadinya keterlambatan mental, gangguan fungsi intelektual, serta kecelakaan oleh karena bangkitan epilepsi (sudden un-expected death), seperti bangkitan kejang muncul saat mengendarai kenderaan, dapat juga tenggelam akibat bangkitan kejang yang terjadi saat penderita dipinggir sungai dan lain-lain.

Besar kemungkinan setiap orang mempunyai tendensi untuk menderita epilepsi, hanya saja tingkat kerentanan otak seseorang berbeda-beda, apakah tahan atau kurang tahannya terhadap munculnya bangkitan. Beragamnya penyebab dari epilepsi, seperti cedera kepala, keracunan, serebrovaskuler, infeksi, infestasi parasit, tumor otak, sehingga epilepsi dapat mengenai pada umur berapa saja dan jenis kelamin laki-laki dan perempuan serta ras yang berbeda, namun 50% epilepsi bersifat idiopatik atau tidak diketahui. Seluruh dunia diperkirakan 50 juta penderita epilepsi, dengan insidensi di negara maju sekitar 50/100.000 orang, sementara di negara berkembang mencapai 100/100.000 orang.

Insidensi epilepsi sendiri mencapai 200.000 orang yang di diagnosis setiap tahun, di mana insidensi tertinggi dibawah usia 2 tahun dan diatas 65 tahun. Pada usia dibawah 15 tahun, 45.000 anak di diagnosis sebagai penderita epilepsi setiap tahun, laki-laki lebih sering dari wanita, namun ada kecendrungan insiden menurun pada anak-anak dan meningkat pada usia dewasa, 70% kasus baru tanpa penyebab yang jelas, dan 50% kasus baru dengan bangkitan umum, setengahnya kejang parsial.

Prevalensi epilepsi di Amerika Serikat diperkirakan mencapai hampir 3 juta, dan dapat meningkat dengan bertambah usia. Pada populasi anak-anak sekolah ditemukan 326.000 sampai usia 15 tahun menderita epilepsi, dan lebih dari 300.000 di atas usia 65 tahun menderita epilepsi. Kumulatif insidensi adalah: pada usia 20 tahun, 1% dari populasi diperkirakan menderita epilepsi, usia 70 tahun 3% dari populasi telah di diagnosa sebagai penderita epilepsi, dan 10 % pernah mendapatkan beberapa jenis bangkitan. Penderita epilepsi yang tidak pernah mendapat serangan berulang selama 5 tahun atau lebih selama pengobatan, diperkirakan 70% penderita akan terjadi remisi atau perbaikan secara sempurna. 35% dengan keterbelakangan mental, cerebral palsy, dan defisit neurologis lainnya. 75% penderita yang bebas kejang selama 2 sampai 5 tahun dapat dihentikan pengobatannya. 10% kegagalan yang oleh ketidak patuhan penderita.

Gejala klinis penderita epilepsi kadang berbeda antara satu penderita dengan penderita lainnya, serangan dapat berupa melamun sejenak, kadang ada yang menyebabkan penderita terjatuh disertai kejang-kejang atau kelonjotan pada kedua lengan dan tungkai, penderita kehilangan kontrol terhadap tubuhnya disertai kehilangan kesadaran seluruh atau sebagian pada berbagai waktu yang tak diharapkan dengan gerakan-gerakan tanpa diinginkan. Pada tingkat yang sangat ringan adanya sensasi aneh, halusinasi pendengaran dan penglihatan, perasaan tidak enak diperut, mendadak merasa takut, pada jenis lainnya disertai dengan gerakan yang lebih rumit yang disertai penurunan kesadaran, gerakan yang tidak bertujuan, gerakan berputar pada leher, menarik-menarik baju, mulut berkomat-kamit, mata terbelalak, terkadang penderita buang air kecil dan mulut berbuaih tanpa disadari. Perbedaan epilepsi dengan bangkitan lainya seperti bangkitan psikogenik pada orang-orang yang mencari perhatian adalah: bangkitan epilepsi tidak pernah mengenal waktu dan tempat. Serangan epilepsi dapat terjadi beberapa kali dalam seminggu, bulan, mungkin saja dua atau tiga kali dalam setahun.

Menyikapi paradikma di atas serta data-data insidensi dan prevalensi dan gejala klinis penderita epilepsi, maka penderita epilepsi harus mendapat perhatian serius dari semua pihak. Epilepsi bukanlah penyakit menular, penyakit kutukan. Epilepsi dapat disembuhkan dengan pengobatan yang tepat dan cepat selama 2 tahun atau lebih dengan minum obat epilepsi secara terus menerus dan teratur. Penangulangan selanjutnya adalah kerjasama antara penderita, keluarga dengan dokter serta dukungan semua pihak sangat membatu penyembuhan. Penderita epilepsi tidak boleh dikucilkan, hilangkan semua stigma negatif sehingga dapat meringankan dampak bagi penderita dan keluarga dalam hal psikologis, sosial, ekonomis, pendidikan, dan hukum. Secara lebih luas penderita epilepsi dampak terhadap psikososial sering menarik diri dari lingkungan dan merasa kurang percaya diri, sering dikucilkan karena dianggap penyakit yang dapat menular dan memalukan. Dari sisi ekonomi, tidak mendapatkan pekerjaan yang layak, sering dikeluarkan dari pekerjaan, pembiayaan pengobatan yang lama. Sisi pendidikan, ada kalanya guru menolak kehadiran siswa yang menderita epilepsi atas pertimbangan akan menjadi pusat masalah bagi kelasnya. Dari sisi hukum, perlu dipeketat dalam hal pengurusan izin mengemudi atau SIM.

Deteksi dini hendaknya menjadi tanggung jawab semua pihak disamping dokter sebagai tenaga yang berwewenang, Bantuan dari keluarga, guru, teman kerja dan masyarakat sangalah penting karena mengingat laporan saksi mata saat serangan sangatlah membantu menegakkan diagnosis.